Artikel kepengasuhan DEA #14. Kalau Belum Gatal Belum Disebut Santri.

Benarkah demikian?

Dalam sesi training Dormitory Educator Academy (DEA), saya sering bercerita tentang istilah ‘pondok’ atau ‘pondok pesantren’ dalam berkomunikasi.

Pengalaman saya bersafar, jika berjumpa orang di pesawat, kereta, atau bus sudah selayaknya saling menyapa dan berkenalan.

Saat ditanya pekerjaan, saya sering menjawab kerja di ma’had. Sebab jika jawabannya bekerja di pondok pesantren maka obrolan seringnya berakhir.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pondok pesantren lekat dengan gatal-gatal, ghosob, kurang menjaga kebersihan dan blab la bla lainnya.

Seolah teman sebelah saya tidak tertarik lagi untuk melanjutkan obrolan.

Namun saat saya menggunakan kata ‘ma’had’ maka obrolan masih bisa berlanjut pada penjelasan dari definisi ma’had dan hal-hal lain yang saya narasikan secara positif.

Ma’had adalah tempat menuntut ilmu, tempat belajar kehidupan, tempat berlatih mandiri, menjaga kebersihan dan kerapian, tempat membentuk kedisiplinan hingga perjalanan sekian jam tidak terasa berlalu.

Seorang alumni pesantren pernah menyatakan bahwa ‘kalau belum gudiken (gatal-gatal) belum disebut santri’, begitulah salah satu stereotip seputar santri yang beberapa kali terdengar.

Walaupun kalimat tersebut dikatakan dengan nada bercanda, sebagai seorang muslim kami sedikit merasa aneh.

Seharusnya pesantren menjadi contoh dalam kebersihan, kerapian, kedisiplinan, kesantunan, kejujuran dan tentunya kesholehan.

Pengalaman-pengalaman tersebut memotivasi saya untuk menghadirkan ma’had yang bersih tanpa gatal, ma’had yang nyaman tanpa bully, ma’had yang ramah anak.

Kasus gudiken atau gatal tidak berasal dari rumah santri. Mereka mendapatkannya saat berada di pondok.

Berarti ada yang salah dengan kualitas kebersihannya.

Berdasarkan pengalaman kami, kasus gatal pada santri alhamdulillah bisa teratasi dengan:
1. Edukasi tentang pentingnya menjaga kebersihan.
2. Air kamar mandi berganti setiap ganti orang. Artinya santri yang mandi di antrian ke dua tidak menggunakan air sisa santri pertama. Caranya, bisa dengan menggunakan shower (lebih irit air) atau ember yang habis sekali pakai.
3. Mencuci pakaian setiap kali kotor tanpa harus menunggu hari libur. Menghilangkan budaya merendam cucian melebihi batas waktu standar mencuci. Hendaknya jemuran juga terkena cahaya matahari langsung.
4. Menjemur Kasur dan bantal secara berkala. Menjemur (mengeluarkan gantungan handuk tiap kamar) setiap pagi.
5. Membatasi jumlah pakaian dan tidak saling pinjam pakaian.
6. Bila ada yang gatal, segera obati hingga tuntas untuk mencegah penularan.
7. Budayakan hidup sehat dengan menjaga kebersihan setiap saat serta dapat arahan dan bimbingan dari tim medis secara berkala.

Semoga gudiken tidak lagi menjadi stereotip yang melekat pada santri dan pesantren.

Karena sejatinya setiap muslim itu identik dengan pribadi yang bersih.

Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan”.

(Baca juga: Seni dalam Mendidik)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini