Aktivitas menunggu memang menjadi problem dalam kehidupan sebagian orang. Terlebih kalau dia tidak pandai dalam memaksimalkan waktu menunggu tersebut dengan aktivitas positif lainnya.

Tidak dipungkiri bahwa kehidupan itu penuh dengan penantian. Ya begitulah hakikatnya. Seperti halnya menunggu datangnya ajal, Kita tidak pernah tahu apakah ini penantian panjang atau sebaliknya. Sangat singkat. Tidak terasa tiba-tiba ajal datang menjemput.

Pernah enggak kita berpikir bahwa di sela-sela waktu menunggu itu justru menjadi kesempatan bagi kita untuk bisa memaksimalkan aktivitas positif lainnya. Sehingga kita tidak salah menyikapi sebuah penantian. Kita tidak pernah merasa jengkel, sebal, membosankan, membuang waktu dan menjenuhkan.

Intinya, menunggu itu tidak identik dengan keadaan negatif yang harus kita sesali. Seperti halnya seseorang yang menunggu bis di pagi hari untuk berangkat kerja, terkadang terdengar celotehan “Bis ini kalau ditunggu tidak pernah datang dan kalau tidak ditunggu banyak sekali yang melintas,” tentunya ini ungkapan kesal karena jenuh dengan masa penantian.

Padahal bis itu tidak lama hadir ke tempat biasanya. Ia sudah terjadwal sebagaimana semestinya. Namun, kita sendiri yang merasa begitu lama karena tidak mengiringi masa menunggu dengan aktivitas positif. Misalnya, bisa mengawali obrolan dengan teman sebelah yang juga sedang menunggu bis datang. Bertukar pikiran, berbagi pengalaman menjadikan masa penantian terasa singkat. Kalau pun sendirian, maka bisa dengan cara membaca buku dan sebagainya.

Nah, jika kita berbicara mengenai aktivitas santri di lingkungan pesantren, salah satu aktivitas menunggu adalah setelah azan dikumandangkan. Ada jeda antara Iqamah dan shalat. Biasanya di beberapa pesantren durasi waktu menunggu imam datang itu hingga 15-30 menit. Sangat menjenuhkan kalau hanya ditunggu tanpa aktivitas.

Berbeda halnya kalau sedang menunggu imam, kita iringi dengan aktivitas positif seperti berdzikir dengan jumlah yang ditargetkan, atau membaca Al-Qur’an dengan jumlah halaman yang telah ditentukan. Aktivitas ibadah seperti ini akan lebih mudah bagi kita menikmati masa penantian. Tentunya, kita tidak akan merasakan berapapun lama masa penantian tersebut.

Menunggu itu bisa berubah menjadi sesuatu yang menyenangkan. Mungkin salah satu aktivitas santri di pesantren yang paling menguras emosi adalah menunggu antrian. Di mana-mana harus antri. Makan antri. Mandi antri. Masuk kelas antri. Mau wudhu antri lagi. Begitu seterusnya, selama ada aktivitas yang dikerjakan berbarengan maka wajib antri. Biasanya, seorang santri perlu waktu menunggu antrian hingga tiga puluh orang atau bahkan lebih.

Nah, dengan situasi seperti ini, seorang santri bisa mengisi waktu menunggu antrian dengan muraja’ah hafalan, mengahafal mufradat bahasa asing, atau bisa juga dengan istighfar sebanyak-banyaknya. Dengan demikian aktivitas menunggu tidak terasa lama. Dan pastinya, emosi dia tetap terjaga. Tidak jengkel dengan aktivitas menunggu.

Berbicara masalah penantian ini, membuat saya teringat dengan kisah haru penantian panjang seorang kakek di Cirebon. Bagaimana tidak, seorang kakek paruh baya bernama Ambari rela menabung sejak zaman perang pra kemerdekaan untuk bisa haji ke baitullah. Kisah ini diterbitkan oleh liputan6.com di Cirebon, Kamis 4 Agustus 2016.

Kisahnya, kakek Ambari bin Ahmad (90) mengucap syukur atas kesempatannya berangkat ke Tanah Suci untuk ibadah haji tahun itu. Tubuhnya yang sudah renta tidak mematahkan niat untuk menunaikan ibadah haji.

Keinginannya untuk berangkat ke Tanah Suci itu tertanam sejak kakek Ambari berusia 30 tahun. “Saya buat celengan dari kaleng biskuit lalu saya patri sendiri. Hasil dari panen saya masukan ke celengan, berapa pun hasilnya, mau satu sen atau satu ketip,” kata kek Ambari dengan penuh semangat.

Di sela perbincangan, kakek yang berprofesi sebagai buruh tani ini mencoba mengingat kembali perjalanan hidupnya mengumpulkan segala mata uang rupiah sejak zaman Presiden Sukarno. Dia menuturkan, niatnya berangkat haji termotivasi oleh ayahnya, Ahmad, yang menunaikan ibadah haji saat itu.

Dari motivasinya itu, dia mulai menabung di celengan sejak 1949. Suka dukanya menabung di celengan saat itu masih diingatnya.

“Sambil ikut berperang, saya juga menyempatkan diri menabung. Kalau ada penjajah Belanda, celengan saya pendam di tanah lalu saya kabur sebentar, lalu malamnya saya ambil lagi,” ucap dia.

Keikhlasan hati Kakek Ambari ini rupanya membuka jalannya ke Mekah. Seiring berjalannya waktu, dia pun menukarkan koin logam hasil celengannya ke toko loak atau kolektor.”

Uang yang saya tabung kan sudah tidak laku di zaman sekarang, jadi saya jual ke kolektor atau ke pasar loak, dibayar dengan rupiah, kemudian saya tabung lagi. Sampai terkumpul Rp 35 juta, saya bayarkan biaya haji juga tunai dan baru tahun ini saya berangkat,” ujar dia.

Maka menikmati sebuah penantian dengan melakukan aktivitas lainnya, harus menjadi kebiasaan positif kita. Jadikan ia sebuah tantangan untuk menyelesaikan segala macam tugas yang belum mencapai target.

Dengan demikian, aktivitas menunggu itu tergantung bagaimana kita menyikapinya. Apakah kita ingin menjadikannya sebagai hal yang membosankan atau malah menyenangkan. Bukankah dalam Al-Qur’an sudah diingatkan oleh Allah ‘Azzawajalla, “Fa idza faraghta Fanshab: kalau engkau sudah selesai dari satu urusan maka segeralah mengerjakan aktivitas lain,”

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini