
Seharusnya grup itu bersifat terbuka, tidak dikunci. Semua orang boleh berbicara, semua orang boleh menulis—tentu dengan kesepakatan terlebih dahulu, apa saja yang boleh dibahas dalam grup tersebut.
Misalnya kita memiliki pesantren, maka semua informasi dalam grup harus seputar pesantren: tentang anak didik, komunikasi antara sekolah dan wali murid, serta hal-hal lain yang relevan dengan kegiatan pesantren. Tidak boleh ada jualan, tidak boleh ada iklan, dan tidak boleh ada pembicaraan di luar topik yang berkaitan dengan sekolah.
Kalau pembicaraannya memang seputar sekolah, maka semua anggota grup perlu tahu, mengikuti, dan terlibat dalam perkembangan informasi tersebut. Dengan begitu, komunikasi berjalan dua arah dan merata.
Jika grup dikunci, maka komunikasi hanya terjadi satu arah. Wali murid tidak bisa saling berinteraksi dan terasa seperti tidak bersahabat satu sama lain. Ini tentu tidak sehat untuk dinamika komunikasi kita, sebaliknya, jika grup dibuka dan aturannya jelas—misalnya hanya membahas hal terkait sekolah—maka semua pihak harus komitmen. Dengan begitu, tidak akan muncul iklan atau obrolan yang tidak perlu.
Kalau grup wali santri dikunci, nanti malah jadi seperti koran atau televisi: orang hanya bisa melihat, tapi tidak bisa bertanya, akhirnya guru atau musyrif jadi repot menjawab satu per satu lewat japri. Maka tetap, grup itu sebaiknya dibuka, kemudian tetapkan aturan mainnya dengan jelas, ingatkan anggota untuk membaca informasi, dan tegaskan larangan berjualan atau menyebarkan informasi di luar kegiatan pondok.
Baarakallahu fiikum.