Jujur berarti berkata benar. Sesuai antara lisan dan hati. Apapun yang terucap oleh lisan maka hati pun ikut membenarkannya.

Bicara soal jujur, sejatinya ia adalah sifat wajib yang harus dimiliki oleh setiap orang. Tidak hanya Islam, semua agama di dunia ini menganjurkan umatnya berlaku jujur. Baik kejujuran yang diucapkan oleh lisan maupun yang teraplikasi dalam perbuatan seseorang.

Dalam Islam Kejujuran sangat dijunjung tinggi. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam senantiasa menekankan umatnya untuk selalu berbuat jujur.

Berkaitan hal ini, ada kisah dramatis penuh haru tentang kejujuran seorang sahabat yang terjerumus dalam perbuatan zina. Di hadapan Nabi, dia mengaku bahwa dirinya telah berbuat zina.

Namanya Ma’iz bin Malik . Tanpa ragu dan takut, demi bersikap jujur, ia menyerahkan diri dan minta dijatuhi sanksi sebagaimana mestinya.

Ma’iz bin Malik datang menemui Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, dan berkata, “Sucikanlah aku, wahai Rasulullah!” Rasulullah menjawab, “Ada apa dengan kamu ini wahai Ma’iz? Pulang dan mintalah ampun serta bertaubat kepada Allah.”

Ma’iz pun pergi. Belum lama kemudian dia kembali dan berkata, “Sucikanlah aku, wahai Rasulullah!” Rasulullah menjawab sebagaimana jawaban sebelumnya.Hal itu terjadi berulang-ulang. Sampai keempat kalinya dengan penuh heran Rasulullah bertanya, “Apa yang telah kamu lakukan sehingga membuat dirimu harus aku sucikan?” Sambil terisak-isak, air mata membasahi pipinya, Ma’iz menjawab, “Dari dosa zina.”

Rasulullah pun bertanya kepada sahabat lain yang ada di situ, “Apakah Ma’iz ini mengidap gangguan jiwa?” Lalu dijawab bahwa Ma’iz tidak gila. Beliau bertanya lagi, “Apakah Ma’iz sedang mabuk?” Salah seorang kemudian berdiri untuk mencium bau mulutnya, namun tidak ada bau khamr. Beliau kemudian bertanya kepada Ma’iz, “Betulkah kau telah berzina?” Ma’iz menjawab, “Ya, benar.”

Atas apa yang telah dilakukan oleh Ma’iz dan dia telah bersikap jujur di hadapan Rasulullah shalallahu alaihi wa salam, sebagaimana syariat Islam yang aktif pada masa itu, maka Ma’iz pun di hukum rajam sampai meninggal dunia.

Setelah kewafatannya, orang-orang terpecah dalam dua pendapat mengenai apa yang telah terjadi terhadap Ma’iz. Sebagian mengatakan bahwa Ma’iz telah celaka akibat dosa yang telah diperbuatnya. Sementara sebagian yang lain memiliki kesan positif bahwa Ma’iz merupakan orang yang beruntung karena telah bertaubat secara sangat baik, yaitu dengan jujur mendatangi Rasulullah, mengakui kesalahannya, dan ikhlas untuk menjalani hukuman rajam.

Di tengah perbedaan pendapat masyarakat kala itu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Sungguh Ma’iz telah bertaubat dengan sempurna, dan seandainya taubatnya dapat dibagi untuk satu kaum, pasti taubatnya akan mencukupi seluruh kaum tersebut.” Kisah ini dicatat oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya pada bab Merajam Pelaku Zina, hadits nomor 6434.

Dalam kisah ini, kita bisa mengambil hikmah dari perilaku jujur seorang Ma’iz. Walaupun sebenarnya ia sudah mengetahui konsekuensi dari kejujurannya yaitu dirajam sampai mati. Tapi tidak membuat ia takut untuk berbuat jujur. Alhasil taubatnya diterima disisi Allah dan syurga ia dapatkan.

Nah, saya sering menyampaikan nasehat dengan judul ”Jujur Pangkal Segala Kebaikan”. Baik kepada para santri ataupun para guru di setiap acara seminar. Karena berprilaku jujur itu sangat penting dalam kehidupan seseorang. Ketika dia mau bersikap jujur maka itu menjadi awal dari kebaikan selanjutnya.

Sebagaimana saya sebutkan di atas bahwa jujur itu pangkal dari segala kebaikan. Kenapa? karena kebalikan dari sifat jujur, yaitu bohong adalah sumber dari segala kerusakan.

Seseorang apabila berani berbohong terhadap suatu urusan maka untuk menutupi kebohongan tersebut, ia harus berbohong lagi. Sebaliknya, ketika seseorang berbuat salah, keliru atau lupa dalam suatu hal namun dia tetap berani jujur, maka untuk memperbaiki kesalahan tersebut akan menjadi lebih mudah.

Misalnya, seseorang khilaf mengambil barang milik orang lain, tapi setelah itu dia bersikap jujur atas kekhilafan-nya. Sehingga dengan kejujuran itu ia lebih mudah diarahkan menjadi diri yang lebih baik. Tapi, jika dia tidak bersikap jujur, berbohong atas kesalahannya maka bisa dipastikan orang seperti ini sulit untuk diperbaiki.

Dalam hadits dijelaskan yang artinya: ” “Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Muslim no. 2607)

Sifat jujur bisa membawa keberuntungan bagi seseorang. Guru yang jujur akan menjadi baik dalam semua urusannya. Murid yang jujur akan menjadi baik dalam semua aktivitasnya.

Di beberapa hadist lain, saya pernah membaca bahwa orang mukmin itu mungkin saja futur (malas). Orang mukmin itu juga adakalanya ia pelit tidak berbagi. Tapi orang mukmin itu tidak mungkin berbohong. Apabila dia berbohong, tidak mau jujur berarti keluar dari lingkaran kemukminannya.

Jadi, demikianlah hakikat jujur. Ia adalah pangkal segala kebaikan. Prinsip ini sering kami tanamkan kepada murid dan para guru di awal-awal aktivitas bersama di sekolah. Sebab, dampaknya bebar-benar memberi pengaruh positif kepada banyak hal.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini